Laman

Senin, 22 April 2013

OKAERI NASAI


Akai menemukannya saat ia berjalan pulang menuju rumah. Tubuhnya yang kurus dan basah karena tersiram air hujan membuat Akai iba dan memutuskan untuk membiarkan gadis itu tinggal di rumahnya. Tak peduli dari mana asalnya dan apa latar belakangnya, kebetulan juga Akai tinggal sendirian. “Siapa namamu?” Tanya Akai pada malam hari itu, gadis itu diam tak menjawab. Akai tidak memaksanya untuk menjawab, ia membiarkan gadis misterius itu memakai kamar mandi dan meminjamkannya pakaian. Setelah selesai gadis itu membersihkan diri, “Namaku, Digi” ucapnya dengan wajah sinis. “Digi-chan?” tanya Akai, “Hanya Digi, tanpa tambahan Chan” lagi-lagi ia menjawab dengan ketus.

“Ohayou, Akai-chan!” seorang perempuan cantik memeluk tangan Akai, “Ohayou Hime-sama” senyumnya ramah. “Hei, nanti sepulang sekolah kita kencan yuk!”, “Uhm, kencan yah?” Akai teringat kalau ia sudah tidak tinggal sendirian, “Kenapa? Takut ketahuan pacarmu yah?” tanya Hime yang heran melihat wajah Akai. “Uh, haha enggak kok. Aku enggak punya pacar, atau bagaimana kalau kita pacaran saja?” Akai melupakan Digi yang selalu menunggunya di rumah. “Sepertinya bukan ide buruk, aku juga lagi enggak punya pacar, jadi enggak masalah juga” Hime tersenyum manis sambil mempererat pelukannya. Akai membalasnya dengan senyuman manis dan satu kecupan di bibir Hime.

Sepulang sekolah, “Akai-chan, ayo kencan!” Hime menghampiri Akai ke ruang kelasnya. “Kalian pacaran?” tanya Miyu salah satu teman kelas Akai, “Menurutmu?” Akai tersenyum nakal. “Bukannya kau baru saja putus dari Lily?”, “Biarlah, sudah ya aku ada urusan” Akai meninggalkan Miyu dan segera menggandeng tangan Hime. “Jadi, sekarang kau mau kencan dimana?”, “Bagaimana kalau kita ke bioskop? Lalu kita makan malam bersama” ajak Hime. “Ide yang bagus, ayo kita rayakan hari jadian kita” sekali lagi Akai mengecup bibir Hime, tak peduli ia sedang berada dimana.

Jam menunjukkan pukul 23:30, “Tadaima” sapa Akai yang baru pulang kerumah. “Okaeri, dari mana?”, “Aku pulang sekolah, dari mana lagi memangnya?”, “Semalam ini?” Digi tak percaya. “Tadi aku ada rapat osis dan mengerjakan tugas”, “Sampai larut malam begini?”, “Aku mau mandi, siapkan air panas dong” dengan seenaknya Akai menyuruh Digi untuk melayaninya. Digi mengernyitkan dahi dan menggembungkan kedua pipinya, “Aku bukan pembantumu, lakukan sendiri!” teriaknya. Kemudian, tiba-tiba saja Akai memeluknya dan mengatakan “Aku sangat lelah, tolong siapkan”, “....” Digi terdiam, “Please?”, “Iya, baiklah!” Digipun menurutinya. “Sankyuu!” seperti layaknya seorang bos, Akai duduk di kursi dengan santai.

“Air panasnya sudah siap” Akai hanya tersenyum dan mengelus rambut Digi yang sedikit kasar dan acak-acakan. Akaipun segera mandi, dan sembari menunggu Akai, Digi membuatkan sedikit cemilan dan teh hangat untuk Akai.

Usai mandi dan berpakaian, “Aku buatkan cemilan dan teh hangat” Ucap Digi, “Wow, kebetulan aku sedikit lapar. Sankyuu Digi”, “Uhm!” Akai mengecup kening Digi sebagai tanda terima kasih dan segera memakan cemilan buatan Digi. “Ini enak banget!” Akai menghabiskan semuanya, dan meminum secangkir teh hangat yang juga dibuat oleh Digi. Digi hanya menatap datar Akai, “Love you” lontarnya. “Aku tidak perlu kata-kata manis” Digi berjalan meninggalkan Akai menuju ke kamarnya. Akai yang masih duduk di ruang makan, hanya tertawa kecil melihat tingkah Digi.

Paginya, “Ohayou” sapa Digi yang sudah bangun lebih dulu. “Uh? Ohayou, kau sedang membuat sarapan?”, “Iya, mandi sana!”, “Iya iya, baiklah” Akai segera masuk ke kamar mandi. Setelah itu, “Hari ini aku membuatkanmu bekal”, “That’s so special, thanks!”, “Uhm!” Akai kembali melemparkan senyum ramah kepada Digi.

“Aku berangkat!”, “Hati-hati di jalan”. Tidak hanya baik kepada Digi, Akai selalu baik kepada semua perempuan. “Hime-sama” Akai memeluk pacar barunya dari belakang, “Siang ini kita makan bareng yuk, aku bawa bekal untukmu” ucap Akai, yang sebenarnya bekal itu dibuat Digi hanya untuknya. “Benarkah? Pasti rasanya enak!” Hime terlihat senang, “Pasti!” Akai lagi-lagi mencium bibir Hime di depan umum.


Istirahat siangpun tiba, “Masakanmu benar-benar enak!” Hime memuji masakan yang sebenarnya adalah buatan Digi. Akai hanya tersenyum melihat masakan yang dibuat khusus untuknya dihabiskan oleh orang lain. Tak peduli bagaimana perasaan Digi jika mengetahui hal itu. Tak peduli dengan apa yang sudah Digi lakukan untuknya, yang hanya ia pikirkan adalah bersenang-senang dengan perempuan-perempuan di sekitarnya.

“Kapan-kapan aku mau main ke rumahmu dong, kau tinggal sendirian kan?” tanya Hime, “Iya. Uhm, kalau sekarang sih lagi ada sepupuku menginap di rumah”, “Oh begitu?”, “Bagaimana kalau pulang sekolah hari ini kau ke rumahku?”, “Hmm, aku ada jadwal les piano sih, tapi bolos satu hari saja menurutku enggak akan jadi masalah” jelas Hime. “Jadi?”, “Aku ke rumahmu saja” Hime memeluk Akai.

Sepulang sekolah, sepasang kekasih itupun berjalan bersama menuju rumah Akai. Sesampainya mereka, Akai mempersilahkan masuk Hime dan tidak seperti biasanya yang selalu mengucapkan kata ‘Tadaima’ saat ia pulang ke rumah. “Wah, rumahmu rapi yah, dan wangi. Ternyata kau suka kebersihan ya!” Hime memuji keadaan rumah yang bersih karena selalu dirawat oleh Digi, gadis misterius yang tinggal bersama Akai. “Ah, iya begitulah” Akai hanya tertawa kecil mengiyakan ucapan Hime, kekasihnya. “Mau minum apa?” tanya Akai, “Uhm, apa saja” jawab Hime.


Akai segera menuangkan jus strawberry kesukaan Digi. “Di kulkas cuma ada jus strawberry”, “Kau suka minum jus strawberry?” Hime sedikit heran, “Ya, rasanya unik” jawab Akai. “Tapi aku kurang suka, aku lebih suka jus jeruk” Hime mengeluh. “Aku tidak suka jeruk!” tiba-tiba saja terngiang kata-kata Digi di kepala Akai.

Akai hafal benar jika ia tidak mengucapkan ‘Tadaima’ saat pulang, Digi tidak akan keluar dari kamarnya. Akai memperhatikan keadaan di sekitarnya, sepi. Tanpa banyak bicara Akai memeluk erat Hime dan mencium bibirnya dalam-dalam. Hime tidak keberatan Akai melakukan hal itu padanya, perlahan Akai menyentuh tubuh Hime dan berniat untuk membuka kancing kemeja seragamnya. “Ugh!” Hime tiba-tiba saja menolak. “Kenapa?” Akai heran, “Jangan disini” jawab Hime. Akai tersenyum, “Yasudah, pindah ke kamarku yuk di atas” ajaknya. “Uh, O..okay” dengan rela hati Hime menyetujuinya.

Bosan seharian ia berdiam diri, Digi akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. “Akai, pulang telat lagi ya?” ucapnya. Ia menuruni tangga, melihat ada segelas yang berisi jus strawberry miliknya di meja ruang tamu. Kemudian, Digi berjalan menuju dapur dan membuka kulkas, sebotol jus strawberry yang tadinya penuh kini sudah berkurang. Siapa yang meminumnya? Pikir Digi. Ia mencoba untuk memeriksa di teras depan, ia melihat ada sepasang sepatu milik Akai, dan sepasang sepatu fantopel milik perempuan. Kedua mata Digi terbelalak melihatnya. “Akai?” dengan sigap Digi segera berlari menaiki anak tangga menuju kamar Akai.

“Hosh.. Hosh..” nafas Digi terengah-engah. Perlahan Digi membuka pintu kamar Akai, dan sangat tidak beruntung. Ia melihat Akai sedang bersama dengan perempuan lain dan tidak berbusana. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Digi tercengang melihat pemandangan tersebut, dan kembali menutup pintu kamar Akai perlahan. Tak tau apa yang harus ia lakukan, rasanya ia ingin segera pergi dari rumah yang ia tempati saat ini.

Hari menjelang malam, Digi kembali berdiam diri di kamar setelah menyaksikan peristiwa tak menyenangkan baginya. Setelah puas bercumbu, Akai mengantarkan Hime pulang ke rumahnya.

“Tadaima” Akai kembali ke rumah, “Okaeri” jawab Digi yang sedang duduk di meja makan. “Aku lapar, masak apa?” tanya Akai. “Ga masak, hari ini aku capek bersih-bersih rumah” jawab Digi seakan ia tidak tau apa yang sudah terjadi. “...Uh..iya” Akai sedikit gugup saat menanggapinya. “Aku mau tidur, oyasumi” Digi meninggalkan Akai di dapur sendirian.

Kejadian seperti itu-pun tak hanya terjadi satu kali, dan Digi-pun mengetahuinya. Akai menjadi lebih sering melakukan hubungan intim di rumahnya tanpa mempedulikan keberadaan Digi yang menahan rasa sakit, tak mempedulikan perasaan Digi yang selalu ada untuknya. Parahnya Akai mulai bergonta-ganti perempuan, entah itu kekasihnya atau bukan.

Sampai akhirnya, Digi muak dengan keadaan rumah yang semakin tidak sehat. Ia memutuskan untuk pergi berjalan-jalan keluar rumah sendirian. Tak tau arah dan tujuan, Digi juga sangat lemah dalam arah perjalanan. Ia hanya ingin mengilangkan rasa sedih dan kesal yang mendalam. Langit mulai gelap pertanda akan turun hujan, sementara Digi masih berjalan tanpa arah. Sampai akhirnya hujanpun turun, tak bisa mengeluarkan air mata adalah kelemahannya, Digi tidak bisa memperlihatkan rasa kesal dan sedihnya. Ia hanya berdiri terdiam di samping dinding yang sudah mulai rapuh.

“Hosh, Hosh.” nafas Akai terengah-engah sambil berlari di tengah hujan yang cukup deras. Langit bertambah gelap seiring tenggelamnya matahari. “Digi! Digi!” ia berlari sambil meneriakkan nama Digi. Tak disangka, Akai menemukan Digi sama persis saat pertama kali ia menemukannya. Tubuh Digi sudah basah tersiram derasnya air hujan, pandangan kosongnya yang menahan banyak rasa sakit. Tanpa banyak bicara Akai segera memeluknya, “Kau kemana saja bodoh?! Kau kan tidak tau jalan, kau tidak boleh keluar sendirian! Kau pikir aku tidak khawati hah?!” Akai terlihat sangat khawatir padanya.

“Sekarang kita pulang ya?” ajak Akai, ia menggandeng tangan Digi, tapi ia menahannya. “Aku tidak mau pulang” Ucapnya datar. “K..kenapa?” Digi terdiam, “Aku tidak mau pulang!” Akai terkejut melihat setetes air mengalir dari mata Digi. “Kau kenapa?” Akai sangat kebingungan, “Tinggalkan aku disini” pinta Digi. “Aku tidak mau”, “Tinggalkan aku!”, “Tidak akan! Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini! Kalau kau tidak mau jalan, baiklah aku akan menggendengmu!” Akai benar-benar mengangkat tubuh kurus Digi.

“Turunkan aku! Tinggalkan aku disini! Aku membencimu!” Digi memukul-mukul tubuh Akai, tetapi ia tak mempedulikannya. “Aku membencimu!” Digi menggigit pundak Akai, “Akh!” Akai merasa kesakitan. Digi memperkeras gigitannya sampai membuat pundak Akai mengeluarkan darah dan terluka. “Ugh!” Akai tetap berjalan dengan tegap sambil menggendong Digi yang sedang menggigit pundaknya. “S..sakit” ucap Akai pelan, kemudian Digi melepas gigitannya secara perlahan dan membiarkan darah mengalir dari luka yang ia buat.

Sesampainya di rumah, Akai mengeringkan tubuh Digi dengan handuk dan membuatkannya secangkir teh hangat. Digi hanya terdiam, sama seperti saat pertama kali ia menemukan Digi di pinggir jalan. “Apakah sebelumnya Digi juga merasakan sepereti yang ia rasakan saat ini?” ucap Akai dalam hati. “Digi, maaf” Akai memeluknya dari belakang. Digi hanya terdiam dan kembali menggigit tangan Akai yang sedang memeluknya. “Ugh!” Akai menahan rasa sakit di tangannya. “Seperti ini kah yang dirasakan oleh Digi saat ini?”  Akai kembali berpikir dan membiarkan Digi melampiaskan rasa sakitnya.

Akai mencium bibir Digi yang dingin karena hujan dan memeluknya dengan erat. “Aku.. benar-benar minta maaf” Akai menyesal.

Satu bulan setelah itu, Akai sudah tidak pernah melakukan hal-hal aneh lagi di rumahnya. Tetapi, Digi tau persis Akai masih melakukannya di luar sana. Terlebih lagi, Akai menjadi lebih sering pulang larut malam.

Sampai suatu hari, “Aku mau jalan-jalan” ucap Digi. “Jalan-jalan? Mau kemana?”, “Entahlah, kalau kau tidak mau menemani aku bisa pergi sendiri” Digi segera meninggalkan Akai. “Tunggu! Aku temani!” Akai segera membatalkan janjinya dengan perempuan lain.

Sedang asik mereka menikmati suasana sore hari, tiba-tiba saja “D..Digi?” Seorang laki-laki yang terlihat cukup parlente memanggilnya. Digi hanya menoleh, “Digi!” sekali lagi ia memanggilnya. Kemudian laki-laki itu memeluk erat Digi, seolah-olah sudah lama ia tak bertemu. Akai dengan tegas memisahkannya, “Maaf, anda siapa ya?”. “Saya Leo, teman Digi sebelum kau mengenalnya”, Akai menatap wajah Digi yang terlihat lega melihat Leo. “Berikan aku sedikit waktu dengan Digi” pinta Leo, “Uh.. Baiklah” Akai mengijinkan dengan sedikit terpaksa.

Ia melihat Leo dan Digi berbincang, dan yang lebih mengagetkan, Leo membuatnya tersenyum. Tak lama, Digi menghampiri Akai “Aku mau menginap di rumah Leo”, “Dia siapa?”, “Sama sepertimu sebelum kau menemukanku” Jawab Digi dan meninggalkan Akai.

Sudah hampir Dua bulan Digi tidak pulang kerumah Akai. Disaat Digi sedang tidak ada di rumah, Akai bebas membawa siapapun ke rumahnya, dan bebas pulang larut malam bahkan menginap dirumah teman-teman perempuannya.

Sampai suatu hari, saat pulang sekolah “Tadaima!”. Akai melihat rumahnya sangat sepi, tak ada lagi jawaban “Okaeri” yang selalu ia dengar. Tidak ada lagi menyiapkan makan malam istimewa untuknya. Tidak ada lagi seseorang yang selalu memukul atau menggigitnya tiba-tiba hanya untuk melampiaskan rasa kesalnya. Aroma khas lavender yang selalu tercium kini mulai memudar. Kulkas miliknya pun tidak lagi dipenuhi botol-botol jus strawberry dan cheese cake. Tidak ada lagi yang menyiapkan air hangat untuknya mandi. Bahkan dapur terlihat berantakan dan sedikit kotor.

Akai menyadari kalau perempuan-perempuan yang ia tiduri, teman-teman yang selalu menemaninya bersenang-senang hanyalah semu. Mereka tidak mau peduli bagaimana keadaan Akai disaat sendirian. Selama ini, Digi selalu melayani, menemani, dan menyayanginya tanpa peduli berapa kali ia menyakitinya, tak peduli seberapa sakit dirinya. Ia tetap berdiri sampai ia muak dan pergi.

Tak sadar air matanya mengalir sedikit demi sedikit. Ia terlalu fokus melihat kedepan sampai tidak menyadari siapa disampingnya. Akai sadar, ia merindukan keberadaan Digi. Ia mengerti apa yang dirasakan Digi, ia mengerti kenapa Digi sangat membencinya dan ia mengerti kenapa Digi masih tetap mau bersamanya.

Akai meninggalkan rumahnya, dan berjalan tanpa arah ia melakukan apa yang dilakukan oleh Digi disaat ia muak dengan segalanya. Anginpun berhembus begitu kencang, langit mulai gelap walaupun matahari belum kembali ke persembunyiannya. Setetes demi setetes air hujan membasahi muka bumi sampai sekujur tubuh Akai dibasahi air hujan.

Ia sadar ia selalu sendirian, dan ia menemukan seseorang yang mau menemaninya, dan ia menyia-nyiakannya. Tak hanya satu kali, tapi berulang kali. Akai berdiri di samping dinding yang mulai rapuh, tempat dimana Digi berdiri pada hari itu.

Akai menundukkan kepalanya, terlalu malu untuk memperlihatkan wajahnya yang basah karena air mata. ‘Cipak, cipak’ terdengar sebuah langkah kaki seseorang yang mendekat. “Okaeri nasai, Akai” Digi memeluk tubuhnya yang basah kuyup. “...Tadaima” Akai memeluk Digi seakan tak akan melepasnya kembali. 

this is shina or this is me ?

this is shina or this is me ?
viel art