Akai menemukannya saat ia berjalan pulang menuju rumah. Tubuhnya yang kurus dan
basah karena tersiram air hujan membuat Akai iba dan memutuskan untuk
membiarkan gadis itu tinggal di rumahnya. Tak peduli dari mana asalnya dan apa
latar belakangnya, kebetulan juga Akai tinggal sendirian. “Siapa namamu?” Tanya
Akai pada malam hari itu, gadis itu diam tak menjawab. Akai tidak memaksanya
untuk menjawab, ia membiarkan gadis misterius itu memakai kamar mandi dan
meminjamkannya pakaian. Setelah selesai gadis itu membersihkan diri, “Namaku, Digi”
ucapnya dengan wajah sinis. “Digi-chan?” tanya Akai, “Hanya Digi, tanpa
tambahan Chan” lagi-lagi ia menjawab dengan ketus.
“Ohayou,
Akai-chan!” seorang perempuan cantik memeluk tangan Akai, “Ohayou Hime-sama” senyumnya
ramah. “Hei, nanti sepulang sekolah kita kencan yuk!”, “Uhm, kencan yah?” Akai
teringat kalau ia sudah tidak tinggal sendirian, “Kenapa? Takut ketahuan
pacarmu yah?” tanya Hime yang heran melihat wajah Akai. “Uh, haha enggak kok. Aku
enggak punya pacar, atau bagaimana kalau kita pacaran saja?” Akai melupakan
Digi yang selalu menunggunya di rumah. “Sepertinya bukan ide buruk, aku juga
lagi enggak punya pacar, jadi enggak masalah juga” Hime tersenyum manis sambil
mempererat pelukannya. Akai membalasnya dengan senyuman manis dan satu kecupan
di bibir Hime.
Sepulang
sekolah, “Akai-chan, ayo kencan!” Hime menghampiri Akai ke ruang kelasnya. “Kalian pacaran?” tanya Miyu salah satu teman kelas Akai, “Menurutmu?” Akai
tersenyum nakal. “Bukannya kau baru saja putus dari Lily?”, “Biarlah, sudah ya
aku ada urusan” Akai meninggalkan Miyu dan segera menggandeng tangan Hime. “Jadi,
sekarang kau mau kencan dimana?”, “Bagaimana kalau kita ke bioskop? Lalu kita
makan malam bersama” ajak Hime. “Ide yang bagus, ayo kita rayakan hari jadian
kita” sekali lagi Akai mengecup bibir Hime, tak peduli ia sedang berada dimana.
Jam
menunjukkan pukul 23:30, “Tadaima” sapa Akai yang baru pulang kerumah. “Okaeri,
dari mana?”, “Aku pulang sekolah, dari mana lagi memangnya?”, “Semalam ini?”
Digi tak percaya. “Tadi aku ada rapat osis dan mengerjakan tugas”, “Sampai
larut malam begini?”, “Aku mau mandi, siapkan air panas dong” dengan seenaknya
Akai menyuruh Digi untuk melayaninya. Digi mengernyitkan dahi dan
menggembungkan kedua pipinya, “Aku bukan pembantumu, lakukan sendiri!”
teriaknya. Kemudian, tiba-tiba saja Akai memeluknya dan mengatakan “Aku sangat
lelah, tolong siapkan”, “....” Digi terdiam, “Please?”, “Iya, baiklah!” Digipun
menurutinya. “Sankyuu!” seperti layaknya seorang bos, Akai duduk di kursi
dengan santai.
“Air
panasnya sudah siap” Akai hanya tersenyum dan mengelus rambut Digi yang sedikit
kasar dan acak-acakan. Akaipun segera mandi, dan sembari menunggu Akai, Digi
membuatkan sedikit cemilan dan teh hangat untuk Akai.
Usai
mandi dan berpakaian, “Aku buatkan cemilan dan teh hangat” Ucap Digi, “Wow,
kebetulan aku sedikit lapar. Sankyuu Digi”, “Uhm!” Akai mengecup kening Digi
sebagai tanda terima kasih dan segera memakan cemilan buatan Digi. “Ini enak
banget!” Akai menghabiskan semuanya, dan meminum secangkir teh hangat yang juga
dibuat oleh Digi. Digi hanya menatap datar Akai, “Love you” lontarnya. “Aku
tidak perlu kata-kata manis” Digi berjalan meninggalkan Akai menuju ke
kamarnya. Akai yang masih duduk di ruang makan, hanya tertawa kecil melihat
tingkah Digi.
Paginya,
“Ohayou” sapa Digi yang sudah bangun lebih dulu. “Uh? Ohayou, kau sedang
membuat sarapan?”, “Iya, mandi sana!”, “Iya iya, baiklah” Akai segera masuk ke
kamar mandi. Setelah itu, “Hari ini aku membuatkanmu bekal”, “That’s so special,
thanks!”, “Uhm!” Akai kembali melemparkan senyum ramah kepada Digi.
“Aku
berangkat!”, “Hati-hati di jalan”. Tidak hanya baik kepada Digi, Akai selalu baik
kepada semua perempuan. “Hime-sama” Akai memeluk pacar barunya dari belakang,
“Siang ini kita makan bareng yuk, aku bawa bekal untukmu” ucap Akai, yang
sebenarnya bekal itu dibuat Digi hanya untuknya. “Benarkah? Pasti rasanya
enak!” Hime terlihat senang, “Pasti!” Akai lagi-lagi mencium bibir Hime di
depan umum.
Istirahat
siangpun tiba, “Masakanmu benar-benar enak!” Hime memuji masakan yang
sebenarnya adalah buatan Digi. Akai hanya tersenyum melihat masakan yang dibuat
khusus untuknya dihabiskan oleh orang lain. Tak peduli bagaimana perasaan Digi
jika mengetahui hal itu. Tak peduli dengan apa yang sudah Digi lakukan
untuknya, yang hanya ia pikirkan adalah bersenang-senang dengan
perempuan-perempuan di sekitarnya.
“Kapan-kapan
aku mau main ke rumahmu dong, kau tinggal sendirian kan?” tanya Hime, “Iya.
Uhm, kalau sekarang sih lagi ada sepupuku menginap di rumah”, “Oh begitu?”,
“Bagaimana kalau pulang sekolah hari ini kau ke rumahku?”, “Hmm, aku ada jadwal
les piano sih, tapi bolos satu hari saja menurutku enggak akan jadi masalah”
jelas Hime. “Jadi?”, “Aku ke rumahmu saja” Hime memeluk Akai.
Sepulang
sekolah, sepasang kekasih itupun berjalan bersama menuju rumah Akai. Sesampainya
mereka, Akai mempersilahkan masuk Hime dan tidak seperti biasanya yang selalu
mengucapkan kata ‘Tadaima’ saat ia pulang ke rumah. “Wah, rumahmu rapi yah, dan
wangi. Ternyata kau suka kebersihan ya!” Hime memuji keadaan rumah yang bersih
karena selalu dirawat oleh Digi, gadis misterius yang tinggal bersama Akai.
“Ah, iya begitulah” Akai hanya tertawa kecil mengiyakan ucapan Hime,
kekasihnya. “Mau minum apa?” tanya Akai, “Uhm, apa saja” jawab Hime.
Akai segera menuangkan jus strawberry kesukaan Digi. “Di kulkas cuma ada jus
strawberry”, “Kau suka minum jus strawberry?” Hime sedikit heran, “Ya, rasanya
unik” jawab Akai. “Tapi aku kurang suka, aku lebih suka jus jeruk” Hime
mengeluh. “Aku tidak suka jeruk!” tiba-tiba
saja terngiang kata-kata Digi di kepala Akai.
Akai
hafal benar jika ia tidak mengucapkan ‘Tadaima’ saat pulang, Digi tidak akan
keluar dari kamarnya. Akai memperhatikan keadaan di sekitarnya, sepi. Tanpa
banyak bicara Akai memeluk erat Hime dan mencium bibirnya dalam-dalam. Hime
tidak keberatan Akai melakukan hal itu padanya, perlahan Akai menyentuh tubuh
Hime dan berniat untuk membuka kancing kemeja seragamnya. “Ugh!” Hime tiba-tiba
saja menolak. “Kenapa?” Akai heran, “Jangan disini” jawab Hime. Akai tersenyum,
“Yasudah, pindah ke kamarku yuk di atas” ajaknya. “Uh, O..okay” dengan rela
hati Hime menyetujuinya.
Bosan
seharian ia berdiam diri, Digi akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. “Akai,
pulang telat lagi ya?” ucapnya. Ia menuruni tangga, melihat ada segelas yang
berisi jus strawberry miliknya di meja ruang tamu. Kemudian, Digi berjalan
menuju dapur dan membuka kulkas, sebotol jus strawberry yang tadinya penuh kini
sudah berkurang. Siapa yang meminumnya? Pikir Digi. Ia mencoba untuk memeriksa
di teras depan, ia melihat ada sepasang sepatu milik Akai, dan sepasang sepatu
fantopel milik perempuan. Kedua mata Digi terbelalak melihatnya. “Akai?” dengan
sigap Digi segera berlari menaiki anak tangga menuju kamar Akai.
“Hosh..
Hosh..” nafas Digi terengah-engah. Perlahan Digi membuka pintu kamar Akai, dan
sangat tidak beruntung. Ia melihat Akai sedang bersama dengan perempuan lain
dan tidak berbusana. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Digi tercengang
melihat pemandangan tersebut, dan kembali menutup pintu kamar Akai perlahan.
Tak tau apa yang harus ia lakukan, rasanya ia ingin segera pergi dari rumah
yang ia tempati saat ini.
Hari
menjelang malam, Digi kembali berdiam diri di kamar setelah menyaksikan
peristiwa tak menyenangkan baginya. Setelah puas bercumbu, Akai mengantarkan
Hime pulang ke rumahnya.
“Tadaima”
Akai kembali ke rumah, “Okaeri” jawab Digi yang sedang duduk di meja makan.
“Aku lapar, masak apa?” tanya Akai. “Ga masak, hari ini aku capek bersih-bersih
rumah” jawab Digi seakan ia tidak tau apa yang sudah terjadi. “...Uh..iya” Akai
sedikit gugup saat menanggapinya. “Aku mau tidur, oyasumi” Digi meninggalkan
Akai di dapur sendirian.
Kejadian
seperti itu-pun tak hanya terjadi satu kali, dan Digi-pun mengetahuinya. Akai
menjadi lebih sering melakukan hubungan intim di rumahnya tanpa mempedulikan
keberadaan Digi yang menahan rasa sakit, tak mempedulikan perasaan Digi yang selalu
ada untuknya. Parahnya Akai mulai bergonta-ganti perempuan, entah itu
kekasihnya atau bukan.
Sampai
akhirnya, Digi muak dengan keadaan rumah yang semakin tidak sehat. Ia
memutuskan untuk pergi berjalan-jalan keluar rumah sendirian. Tak tau arah dan
tujuan, Digi juga sangat lemah dalam arah perjalanan. Ia hanya ingin
mengilangkan rasa sedih dan kesal yang mendalam. Langit mulai gelap pertanda
akan turun hujan, sementara Digi masih berjalan tanpa arah. Sampai akhirnya
hujanpun turun, tak bisa mengeluarkan air mata adalah kelemahannya, Digi tidak
bisa memperlihatkan rasa kesal dan sedihnya. Ia hanya berdiri terdiam di
samping dinding yang sudah mulai rapuh.
“Hosh,
Hosh.” nafas Akai terengah-engah sambil berlari di tengah hujan yang cukup
deras. Langit bertambah gelap seiring tenggelamnya matahari. “Digi! Digi!” ia
berlari sambil meneriakkan nama Digi. Tak disangka, Akai menemukan Digi sama
persis saat pertama kali ia menemukannya. Tubuh Digi sudah basah tersiram
derasnya air hujan, pandangan kosongnya yang menahan banyak rasa sakit. Tanpa banyak
bicara Akai segera memeluknya, “Kau kemana saja bodoh?! Kau kan tidak tau
jalan, kau tidak boleh keluar sendirian! Kau pikir aku tidak khawati hah?!”
Akai terlihat sangat khawatir padanya.
“Sekarang
kita pulang ya?” ajak Akai, ia menggandeng tangan Digi, tapi ia menahannya. “Aku
tidak mau pulang” Ucapnya datar. “K..kenapa?” Digi terdiam, “Aku tidak mau
pulang!” Akai terkejut melihat setetes air mengalir dari mata Digi. “Kau
kenapa?” Akai sangat kebingungan, “Tinggalkan aku disini” pinta Digi. “Aku
tidak mau”, “Tinggalkan aku!”, “Tidak akan! Aku tidak akan meninggalkanmu
sendirian di sini! Kalau kau tidak mau jalan, baiklah aku akan menggendengmu!”
Akai benar-benar mengangkat tubuh kurus Digi.
“Turunkan
aku! Tinggalkan aku disini! Aku membencimu!” Digi memukul-mukul tubuh Akai,
tetapi ia tak mempedulikannya. “Aku membencimu!” Digi menggigit pundak Akai, “Akh!”
Akai merasa kesakitan. Digi memperkeras gigitannya sampai membuat pundak Akai
mengeluarkan darah dan terluka. “Ugh!” Akai tetap berjalan dengan tegap sambil
menggendong Digi yang sedang menggigit pundaknya. “S..sakit” ucap Akai pelan,
kemudian Digi melepas gigitannya secara perlahan dan membiarkan darah mengalir
dari luka yang ia buat.
Sesampainya
di rumah, Akai mengeringkan tubuh Digi dengan handuk dan membuatkannya
secangkir teh hangat. Digi hanya terdiam, sama seperti saat pertama kali ia
menemukan Digi di pinggir jalan. “Apakah
sebelumnya Digi juga merasakan sepereti yang ia rasakan saat ini?” ucap
Akai dalam hati. “Digi, maaf” Akai memeluknya dari belakang. Digi hanya terdiam
dan kembali menggigit tangan Akai yang sedang memeluknya. “Ugh!” Akai menahan
rasa sakit di tangannya. “Seperti ini kah
yang dirasakan oleh Digi saat ini?” Akai kembali berpikir dan membiarkan Digi
melampiaskan rasa sakitnya.
Akai
mencium bibir Digi yang dingin karena hujan dan memeluknya dengan erat. “Aku..
benar-benar minta maaf” Akai menyesal.
Satu
bulan setelah itu, Akai sudah tidak pernah melakukan hal-hal aneh lagi di
rumahnya. Tetapi, Digi tau persis Akai masih melakukannya di luar sana. Terlebih
lagi, Akai menjadi lebih sering pulang larut malam.
Sampai
suatu hari, “Aku mau jalan-jalan” ucap Digi. “Jalan-jalan? Mau kemana?”, “Entahlah,
kalau kau tidak mau menemani aku bisa pergi sendiri” Digi segera meninggalkan
Akai. “Tunggu! Aku temani!” Akai segera membatalkan janjinya dengan perempuan
lain.
Sedang
asik mereka menikmati suasana sore hari, tiba-tiba saja “D..Digi?” Seorang
laki-laki yang terlihat cukup parlente memanggilnya. Digi hanya menoleh, “Digi!”
sekali lagi ia memanggilnya. Kemudian laki-laki itu memeluk erat Digi,
seolah-olah sudah lama ia tak bertemu. Akai dengan tegas memisahkannya, “Maaf,
anda siapa ya?”. “Saya Leo, teman Digi sebelum kau mengenalnya”, Akai menatap
wajah Digi yang terlihat lega melihat Leo. “Berikan aku sedikit waktu dengan
Digi” pinta Leo, “Uh.. Baiklah” Akai mengijinkan dengan sedikit terpaksa.
Ia
melihat Leo dan Digi berbincang, dan yang lebih mengagetkan, Leo membuatnya
tersenyum. Tak lama, Digi menghampiri Akai “Aku mau menginap di rumah Leo”, “Dia
siapa?”, “Sama sepertimu sebelum kau menemukanku” Jawab Digi dan meninggalkan
Akai.
Sudah
hampir Dua bulan Digi tidak pulang kerumah Akai. Disaat Digi sedang tidak ada
di rumah, Akai bebas membawa siapapun ke rumahnya, dan bebas pulang larut malam
bahkan menginap dirumah teman-teman perempuannya.
Sampai
suatu hari, saat pulang sekolah “Tadaima!”. Akai melihat rumahnya sangat sepi,
tak ada lagi jawaban “Okaeri” yang selalu ia dengar. Tidak ada lagi menyiapkan
makan malam istimewa untuknya. Tidak ada lagi seseorang yang selalu memukul
atau menggigitnya tiba-tiba hanya untuk melampiaskan rasa kesalnya. Aroma khas
lavender yang selalu tercium kini mulai memudar. Kulkas miliknya pun tidak lagi
dipenuhi botol-botol jus strawberry dan cheese cake. Tidak ada lagi yang
menyiapkan air hangat untuknya mandi. Bahkan dapur terlihat berantakan dan
sedikit kotor.
Akai
menyadari kalau perempuan-perempuan yang ia tiduri, teman-teman yang selalu
menemaninya bersenang-senang hanyalah semu. Mereka tidak mau peduli bagaimana
keadaan Akai disaat sendirian. Selama ini, Digi selalu melayani, menemani, dan
menyayanginya tanpa peduli berapa kali ia menyakitinya, tak peduli seberapa
sakit dirinya. Ia tetap berdiri sampai ia muak dan pergi.
Tak
sadar air matanya mengalir sedikit demi sedikit. Ia terlalu fokus melihat
kedepan sampai tidak menyadari siapa disampingnya. Akai sadar, ia merindukan
keberadaan Digi. Ia mengerti apa yang dirasakan Digi, ia mengerti kenapa Digi sangat
membencinya dan ia mengerti kenapa Digi masih tetap mau bersamanya.
Akai
meninggalkan rumahnya, dan berjalan tanpa arah ia melakukan apa yang dilakukan
oleh Digi disaat ia muak dengan segalanya. Anginpun berhembus begitu kencang,
langit mulai gelap walaupun matahari belum kembali ke persembunyiannya. Setetes
demi setetes air hujan membasahi muka bumi sampai sekujur tubuh Akai dibasahi
air hujan.
Ia
sadar ia selalu sendirian, dan ia menemukan seseorang yang mau menemaninya, dan
ia menyia-nyiakannya. Tak hanya satu kali, tapi berulang kali. Akai berdiri di
samping dinding yang mulai rapuh, tempat dimana Digi berdiri pada hari itu.
Akai
menundukkan kepalanya, terlalu malu untuk memperlihatkan wajahnya yang basah
karena air mata. ‘Cipak, cipak’ terdengar sebuah langkah kaki seseorang yang
mendekat. “Okaeri nasai, Akai” Digi memeluk tubuhnya yang basah kuyup. “...Tadaima” Akai
memeluk Digi seakan tak akan melepasnya kembali.