Leo, pemuda bertubuh kurus dengan
tinggi badan 180cm berjalan di tengah kerumunan orang. Ia terlihat bosan dengan
kehidupannya, sampai ia melihat seorang gadis dengan rambut sepundak dan
terlihat acak-acakan. Gadis tersebut terlihat sedang asik meminum segelas jus
di tangannya, dan tak lama gadis itu-pun menoleh kearahnya. Sontak, Leo salah
tingkah tetapi gadis itu justru tersenyum ramah padanya.
“Namamu siapa?” tanya Leo, “Uhm, Digi”
Digi menjawab dengan wajah polosnya. “Oh, okay Digi” Leo semakin salah tingkah,
tidak tau harus bersikap seperti apa.
Berawal dari pertemuan yang tidak
disengaja oleh keduanya, Leo menjadi semakin sering bertemu dengan Digi. Leo
tidak begitu tau dari mana Digi berasal, mereka hanya bertemu disuatu tempat,
Leo-lah yang lebih sering mengajaknya, karena ia memiliki banyak waktu luang
dan sering mengajak Digi menonton sebuah film.
Sampai suatu saat, Leo mengutarakan
perasaannya kalau ia menyayanginya. Tetapi, ia tidak bisa menyayangi Digi
sepenuhnya karena suatu hal. Digi memahaminya, dan memberikan satu gelang yang
ia pakai dan buatannya sendiri kepada Leo. “Ah, terima kasih” Leo mengusap kepalanya.
Digi seorang gadis yang sangat ceria, dan tak pernah memikirkan dirinya
sendiri.
Dan semakin hari, Digi terlihat lebih
sibuk dan tak punya banyak waktu untuk Leo. Leo yang sedikit tempramen, merasa
kesal karena dinomor dua-kan. Digi yang baik-baik saja, sampai bingung apa yang
terjadi dengan Leo seorang pemuda yang ramah dan manis itu?
“Aku mau kita bertemu di mall xx dan
aku minta kau membuatkanku dua buah gelang dengan warna hitam dan merah”, Digi
yang tidak ingin Leo marah padanya, menyanggupi semua keinginan Leo.
Sampai pada saat Leo bertemu dengannya.
Leo diam seribu bahasa, ia hanya berjalan di depan Digi. Namun, tiba-tiba saja
Digi tersenyum kecil melihat gelang yang ia pernah berikan sebelumnya tetap
dipakai oleh Leo. “Uhm, ini” Digi memberikan dua buah gelang, terbuat dari tali
koor berwarna merah dan hitam. Leo mulai tersenyum melihat pemberian Digi, dan
mengusap kepalanya. “Terima kasih”, “Uhm” Digi tersenyum lembut. ‘Kruuu~k’ “K-kau
lapar?” tanya Leo, sontak wajah Digi memerah karena malu “I-iya, seharian ini
aku belum makan karena membuatkanmu gelang dan langsung buru-buru kesini”, “Tch!”
Leo segera menarik tangan Digi dan berjalan lebih cepat.
“Kau pilih mau makan dimana?” Leo
mengajaknya ke sebuah foodcourt, “Uhm, aku tidak tau aku ikut denganmu saja”
Digi kebingungan, “Cepat pilih, atau aku akan marah lagi denganmu!”, “U-uhm.. Aku
mau makan teriyaki” akhirnya Digi memilih, “Baiklah” Leo menggenggam erat
tangan Digi seolah-olah tidak mau ia pergi kemanapun. Setelah memesan makanan, Leo
mengajaknya duduk di tempat yang paling strategis di restaurant tersebut. “Makan
yang banyak yah” Leo mengusap kepala Digi, dan mengambil handphone milik Digi. Leo
membukanya, dan melihat isi di dalamnya
sampai ia bertindak sopan dan mengecek isi e-mailnya dan ia menemukan kata ‘sayang’
dari orang lain. Tanpa alasan cukup jelas, Leo kembali kesal dan tiba-tiba saja
berubah menjadi dingin.
Digi masih belum sadar dengan hal itu,
sampai saat Leo mengajaknya ke suatu tempat yang cukup sepi, ia diam seribu
bahasa dan tiba-tiba saja ia memegang pipi Digi, mendekatkan wajahnya dan
berniat untuk mencium bibirnya. Tetapi, Leo terdiam dan mendorong tubuh Digi. Digi
tercengang, kemudian Leo melepas semua gelang pemberian Digi begitu saja dan
mengembalikannya tanpa sepatah kata.
“K-kenapa?” raut wajah Digi berubah
sedih dan ingin menangis. “Ternyata, yang bilang sayang padamu bukan Cuma aku
ya?” Digi tidak mengerti apa yang dibicarakannya, kemudian Leo pergi begitu
saja meninggalkan Digi yang sedang menangis begitu saja.
Keesokannya, dengan seenaknya Leo yang
sudah meninggalkan Digi begitu saja, menyuruh Digi untuk datang ke rumahnya.
Bodoh, Digi justru menurut dan menyanggupinya. “Ojamashimasu”, Digi mengetuk
pintu rumah Leo. “Masuk saja, tidak dikunci” Leo berteriak dari lantai dua
rumahnya sambil bermain bass listrik miliknya. “U-uhm”, Digi masuk dan berdiam
diri. “Duduk, santai saja” Leo berusaha membuatnya nyaman, Digi melihat
sekeliling dinding rumahnya yang dipenuhi banyak foto anak bayi laki-laki yang
begitu imut. “Itu, adikku” celetuk Leo, “Aku haus” Ucap Digi. “Oh! Sebentar”
Leo segera mengambil segelas minuman di dapur.
“Ini, minumlah” Leo menyuruhnya untuk
menghabiskan minuman buatannya. Leo mengajaknya untuk berbincang sebentar, tak tau apa yang diberikan oleh Leo, Digi
merasa kepalanya mulai pusing kedua matanya-pun tidak bisa fokus pada suatu
titik. “Kau mengantuk? Baringkan kepalamu sini” Leo mengelus kepala Digi.
Sesaat setelahnya, Digi kehilangan kesadarannya.
Dan disaat beberapa jam ia terbangun, Digi
tercengang karena ia tidak berbusana dan terdapat bercak darah pada selimut
yang menutupi tubuhnya. Organ intimnya-pun terasa sangat sakit sampai ia tidak
sanggup untuk berdiri. Pandangan wajah Digi yang biasanya sangat ceria, kini
musnah sudah dan berganti menjadi pandangan kosong yang tak tentu arah.
Leo hanya bisa memeluk dan menenangkan
Digi, yang menjadi depresi karena ulahnya.
Semenjak kejadian itu, Leo membiarkan
Digi tetap berada di rumahnya. Awal-awal tahun tinggal bersama Leo, Digi
terlihat nyaman dan tak ingin pergi, tetapi setelah beberapa tahun kemudian bukanlah
kenyamanan ataupun keamanan yang ia dapatkan dari Leo, tapi hanya penyesalan.
Leo menceritakan kalau sebenarnya foto
bayi laki-laki yang ditempel di dinding, bukanlah adiknya. Tetapi, dia adalah
anak satu-satu yang dihasilkan Leo dengan kekasihnya, namun ia ditinggal oleh
kekasihnya dan meninggalkan anak itu bersama Leo.
Merasa iba, Digi hanya memeluk dan
mengusap air mata yang menetes di pipi Leo dan mengatakan kalau Digi ingin
menikah dengan Leo, betapa bahagianya Leo mendengar itu.
Semakin melunjak, semakin hari Leo
semakin tidak peduli dengan Digi yang berada di rumahnya. Ia lebih sering pergi
keluar dan tidak pernah pulang, dan terkadang ia mengajak gadis lain tidur di
rumahnya.
Merasa sangat hina, Digi terdiam di
kamar mandi dan menyakiti dirinya sendiri dengan cara menyayat kedua tangannya
dengan pisau dapur, kemudian merendam kedua tangannya di dalam bak berisi air
penuh, dan menikmati sakitnya darah yang keluar. Dengan tubuh berlumuran darah,
Digi keluar dari kamar mandi dan membuka kamar Leo yang ternyata ia sedang
melakukan s*x dengan wanita lain. Digi hanya menatap kosong wajah Leo, dan
berjalan keluar rumah.
Tidak peduli sedang hujan, Digi tetap
berjalan tanpa arah dengan tubuh yang berlumuran darah.
Ditengah derasnya hujan, Digi berdiam
diri di pinggir jalan. Sampai seorang siswa SMA terhenti di depannya. Merasa kasihan
dengan keadaan Digi, “Namamu siapa?” Digi tak menjawab.
-end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar